15 January 2013

Berawal Dari Sebuah Kamar

Hai V,

Tentu saja namamu serta harapan yang kau inginkan sudah masuk dalam daftar doaku.
Kebahagiaanmu menjadi bahagiaku juga. Semoga saja kau masuk ke dalam kategori tiga besar seperti cerita di dalam novelmu. Semangat, Mate!

V, hari ini langit terus menangis. Airnya membasahi bumi tiada henti.
Dari balik jendela yang basah oleh tetesan air dari atap, kutulis surat ini.

Kali ini aku ingin bercerita tentang sebuah kamar sempit di pojok Dago. Hanya berisikan satu kasur, satu lemari baju, satu meja kecil untuk laptop, satu rice cooker, dan satu dispenser. Ya iya itu memang kamar kostmu yang dulu, kamar di mana kuhabiskan bermalam-malam membuang semua keluh kesahku tentang ketidakberdayaanku melawan.

Akhir Februari 2011, di dalam kamar itulah aku menelanjangi diriku sendiri dan tiap kata yang terucap dari mulutmu merupakan tamparan maha menyakitkan. Rasa sakitnya menusuk hingga relung hati. Kadang kebenaran terdengar pahit di telinga dan terasa perih di hati. Namun dari setiap untaian kata yang terlontar aku simpan baik-baik dan kujadikan pegangan agar jangan pernah kembali berpaling pada masa yang lalu.
Bahkan kedelai pun tidak akan jatuh pada lubang yang sama dua kali, kan?

Ha ha ha ... ngga usah terlalu serius bacanya.
Anggaplah ini semacam kaleidoskop perjalanan selama setahun terakhir persahabatan kita menjadi semakin kental tiap harinya kaya kuah kari. :D

Ngomong-ngomong kuah kari, bikin mie rebus enak nie!
Ceritanya disambung di surat berikutnya aja yah. Lapar soale.

Salam kuah kari
-Your Eva-

No comments:

Post a Comment